Senin, 02 Februari 2009

THAIB, SYAMSIR DAN TASTERA

Mukhtar Adam

Pemerhati Pembangunan, Dosen FE-Unkhair

Isu yang hangat belakangan ini, jika tidak dibilang soal Pemilu, adalah soal pembangunan jembatan yang menghubungkan 3 pulau, yang banyak pengamat menyebut dengan penyatuan denyut ekonomi daerah, oleh karena Ternate sebagai pusat pertumbuhan dari Provinsi Maluku Utara harus menjadi urat nadi pembangunan ekonomi, yang dapat memberikan keterpengaruhannya kepada wilayah lain (Tidore dan Halmahera). Namun sejauh mana kemampuan ekonomi Ternate yang dapat memberikan keterpengaruhannya kepada ekonomi daerah lain, belum ada penelitian yang menunjukan hal itu dapat memberikan konstribusi, secara langsung.

Jika dilihat dari gejala ekonomi kota Ternate, dalam 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sector jasa, komunikasi dan transportasi. Yang memberikan ciri dari sebuah kota, oleh karena Ternate menjadi pusat perdagangan barang dan jasa bagi wilayah Maluku Utara, namun seberapa besar distribusi barang dan jasa yang mengeliat di Kota Ternate dipengaruhi oleh suplay barang dan jasa di Halmahera yang membutuhkan ketersediaan infrastruktur wilayah yang dapat menyatukan jaringan distribusi menjadi komponen yang penting, juga belum diukur secara rasional.

Keterkaitan ekonomi antara wilayah sesuatu yang lazim, dalam pembangunan ekonomi dan social, karena itu dalam aspek perencanaan pembangunan kawasan dititik beratkan pada pengembangan kawasan yang terintegrasi dengan domain utamanya pada jaringan transportasi, baik laut, udara maupun darat. Orentasi pemikiran yang bertumpu pada pembangunan continental akan mengadopsi gagasan pembangunan berbasis daratan, sehingga pembangunan yang menyentuh kebutuhan distribusi barang dan jasa diarahkan pada upaya mendorong penyediaan infrastruktur daratan, melalui system transportasi, yang memiliki nilai investasi yang relative besar.

Gagasan pembangunan jembatan tidaklah salah, namun juga tidak tepat ditengah momentum ekonomi yang tidak sehat, mengapa tidak sehat ??? dari aspek ekonomi dengan gejala pertumbuhan ekonomi Maluku Utara dalam 5 tahun terakhir dipengaruhi oleh factor konsumsi yang dominan, dan fundamental ekonomi yang rapuh, oleh karena aliran investasi tidak mapan, dengan jumlah serapan pinjaman perbankan yang tidak bekomitmen terhadap pembangunan ekonomi utamanya KUKM, dengan berbagai alasan penyehatan perbankan dan jaminan likuiditas, serta cash flow KUKM menjadi factor penghambat bagi membaiknya kinerja KUKM di Maluku Utara.

Factor lain juga yang terasa dari lemahnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan ekonomi local, dari kebijakan fiscal daerah, baik dari kegamangan mencarai sumber-sumber penerimaan daerah yang memberatkan pelaku usaha, rendahnya pengembangan KUKM yang focus pada produksi local, tidak sinerginya penyelenggaraan pemerintahan antara kabupaten/kota, maupun antara kabupaten/kota dan Provinsi, sehingga sulit mencari benang merah pembangunan ekonomi yang terintegrasi.

Gambaran ini dapat dilihat dari Arah Kebijakan Umum, maupun alokasi anggaran pembangunan daerah yang tergambar dalam APBD, belum menunjukan upaya pemerintah dalam mengatasi fenomena-fenomena ekonomi daerah, contoh sederhana pada subsector perkebunan, dimana luas areal perkebunan rakyat yang berbasis pada kelapa dan cengkeh, sebagai komoditi yang jika tidak dibilang andalan tetapi memiliki dominasi usaha petani Maluku Utara yang mengantungkan hidupnya disektor pekebun, namun disaat yang sama diseparuh dataran Halmahera dari utara hingga selatan pulau Halmahera mengalami ancaman hama Saksafa yang membuat produktivitas produksi kelapa mengalami penurunan yang signifikan dalam 5 tahun terakhir, dengan rata-rata usia tanaman diatas 60 tahun, menjadi akumulasi dari hambatan produksi, yang tidak secara sistematik, yang tidak dilakukan upaya rekayasa pemberantasan hama dan peremajaan kelapa, mengakibatkan petani tidak memiliki pilihan lain, untuk melakukan migrasi usaha dari pekebun kesektor-sektor jasa yang usia produktivitasnya sangat pendek seperti ojek, dan jasa-jasa lainnya dibidang jasa konstruksi (Kuli Bangunan)

Keterpurukan ekonomi ini tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara instan, dibutuhkan sinergi antara provinsi dan kebupaten/kota dalam mengatasi berbagai dinamika ekonomi masyarakat yang terus mengalami keterpurukan, angka-angka statistik yang mengembirakan tidak memberikan jaminan yang tepat bagi bangunan ekonomi masyarakat, lihat saja asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan rata-rata pertumbuhan pertahun mencapai 0,5%, dengan tingkat pertumbuhan mencapai 6% pertahun yang memberikan dampak pada pertumbuhan pendapatan perkapita yang mencapai Rp.1.768.945, seolah-olah masyarakat Maluku Utara telah mencapai derajat yang layak untuk menjamin kehidupan masyarakat, padahal asumsi-asumsi tersebut, memiliki informasi a simetris oleh karena teori pertumbuhan yang dikembangkan selama ini berbasis pada akumulasi angka-angka yang semu sehingga terdapat kesenjangan antara pelaku ekonomi, bahkan antara rumah tangga, yang melahirkan kesenjangan yang luar biasa antara sikaya dan simiskin, antara desa dan kota, antara daerah, antara kawasan, yang mengakibatkan lahirnya dominasi-dominasi ekonomi yang sangat kuat, oleh mereka yang menguasai sumber-sumber ekonomi, karena itu dibutuhkan alternative kebijakan ekonomi yang menyentuh soal dasar bangunan ekonomi masyarakat.

Gagasan Thaib dan Syamsir tentang Tastera, adalah sebuah potret yang layak di hargai, akan tetapi sebagaimana layaknya di berikan alternative pembangunan yang lebih rasional tentu dengan tidak mengabaikan faktor-faktor lain, yang dapat meghambat pembangunan. Jika mungkin dijawab oleh Pak Haji Thaib dan Ko Sam tentang makna pembangunan, saya percaya keduanya menjawab dengan lantang pembangunan ini untuk manusia, manusia yang mana ?? manusia Maluku Utara, Jalannya yang mana, disinilah letak perbedaan prespektif yang harus dijawab oleh banyak pemikiran yang konstruktif, dalam memandang pembangunan berbasis manusia.

Pak Haji Thaib dalam kampanye telah banyak menyebut-nyebut soal pembangunan desa, yang seolah-olah pembangunan yang mengarah pada distribusi pemerataan, yang dapat mencegah disparitas antar kawasan, antar desa dan kota serta antara masyarakat, oleh karena pembangunan desa akan mencerminkan distribusi alokasi ekonomi, social, budaya dan keamanan yang terkosentrasi didesa sebagai cikal bakal bangunan ekonomi daerah, karena itu desa sebagai motor pengerak pembangunan daerah, akan memberikan konstribusi yang merata bagi seluruh masyarakat.

Ko Sam, dalam gagasan yang menarik tentang kota pantai, memberika ilustrasi bagunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan, oleh karena sadar akan potensi laut sebagai lokomotif ekonomi, penting untuk didorong, dengan memanfaatkan budaya nelayan masyarakat dufa-dufa dan sekitarnya untuk memberikan arah pengembangan sector perikanan menjadi andalan, dengan menjual berbagai eko wisata, sebagai penambah devisa, dan berbagai strategi lainnya, jika disimulasikan menjadi satu kesatuan ekonomi yang handal.

Dari sekilas gagasan yang terbaca, sangat mengagetkan bagi penulis, kata Koran-koran menyebut kedua putra daerah mengagas tentang TASTERA, yang sedikit tidaknya membuat penulis mencoba bermimpi dalam angan yang tak berujung tentang taster sejenis mahluk apakah TASTERA itu ??, seberapa besar manfaatnya ?? seberapa besar serapan anggarannya ?? sumber anggaran mana yang akan digunakan membangun TASTERA ??, semuanya harus ditanya agar jelas, dengan pengukuran manfaatnya (PP 58/2005, Permendagri 13/2006)

Pendanaan yang dibutuhkan dalam mendorong pembangunan TASTERA tidaklah sedikit, dan jauh lebih mengagetkan para politisi menjual ini sebagai komuditi politik, bagai menjual cermin indah kepada masyarakat pemilih, sehingga seolah-olah TASTERA adalah cermin yang molek dan aduhai, yang akan dipertontonkan sebagai wajah negeri yang baru, dengan kemolekan tubuhnya, tetapi diluar sana, kita diperhadapkan pada beban alokasi yang luar biasa besar untuk memperbaiki pendapatan rumah tangga masyarakat yang belum tertuntaskan dari upaya mendorong produktivitas petani dan nelayan, belum selesai ketersediaan infrastruktur dasar, soal air bersih, soal sanitasi lingkungan, soal kesehatan dengan ancaman malaria yang luar biasa membunuh generasi Maluku Utara, soal pendidikan yang mengancam ketidak mampuan daya krativitas anak-anak kita, soal produksi pertanian yang terancam oleh hama, soal perikanan yang lemah daya jangkau mengakibatkan produksi ikan yang relative kecil dan hanya memenuhi kebutuhan pasar local, oleh karena pemerintah berkosentrasi pada katinting, yang memiliki daya jangkau yang pendek, dan begitu banyak soal-soal yang belum terselesaikan, yang harusnya menjadi komitmen yang tergambar dalam APBD setiap tahun.

Jika asumsi pembangunan TASTERA dialokasikan melalui APBN, yang konon kabarnya didukung oleh Bappenas, akan justru menambah kesialan kita bersama, bagamana tidak, soal jalan yang menghubungkan Sofifi, Gane Timur, Gane Barat, Sofifi Weda, Sofifi Maba, yang menjadi jalan lingkar Halmahera yang menjadi beban APBN yang belum selesai, dan bahkan cenderung dicuekin, juga belum mendapat perhatian serius dari beban APBN yang menjadi tugas dari Bappenas, kenapa bukan soal ini yang didorong agar produksi beras di Subahim, dan Jeruk di Wairoro dapat mengurangi beban cost per unit ketika memasuki pasar Ternate ??

Dan begitu banyak infrastruktur dasar yang seharusnya menjadi alokasi APBN melalui dana dekosentrasi yang disalurkan melalui provinsi dapat dioptimalkan untuk membangun kantong-kantong produksi yang nantinya jika telah terbentuk kantong-kantong produksi berdasarkan pengwilayahaan komoditas, dengan tingkat produktivitas yang stabil, serta kontiniutas produksi yang seimbang, sehingga diujungnya kita dapat memikirkan membangun jembatan, ataukah kita justru membangun pelabuhan ekspor yang terbesar, dengan menempatkan pulau Morotai atau teluk Kao sebagai pelabuhan ekspor, hasil-hasil produksi masyarakat Maluku Utara. Dan beralihnya model pembangunan pulau-pulau kecil kearah pembangunan pulau-pulau besar seperti Halmahera Obi, Sula, dan Bacan.

Pembangunan adalah pilihan-pilihan yang rasional, dan pemanfaatan sumberdaya sesuai tujuannya untuk menuju pemakmuran masyarakat yang di pimpinnya, Pak Thaib dan Ko Sam adalah dua pemimpin yang memiliki model gagasan yang menyatuh, dalam soal TASTERA, yang jika diserikan akan lebih banyak lagi gagasan-gagasan yang bersingungan, sebuah langka yang menarik bagi dua pemimpin ini adalah bertemunya gagasan tentang pembangunan, akan jauh lebih indah jika pertemuan-pertemuan gagasan tersebut, diurai lebih rinci lagi dalam imlementasi bangunan Maluku Utara, semoga pertemuan gagasan ini awal dari bentuk-bentuk pertemuan yang lain. SEMOGA.

Tidak ada komentar: