Jumat, 19 Februari 2010

PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA

Data kemiskinan ini di dasari pada hasil survei BPS Maluku Utara
NO Kecamatan Jumlah NO Kecamatan Jumlah
Desa KK Anggota KK Desa KK Anggota KK
I KOTA TERNATE 74 2686 12202 II TIDORE KEPULAUAN 72 2979 12040
1 Pulau Ternate 17 369 1566 1 Tidore Selatan 8 295 1218
2 Moti 6 227 1173 2 Tidore Utara 12 321 1307
3 Pulau Batang Dua 5 242 970 3 Tidore 11 334 1549
4 Ternate Selatan 17 672 3425 4 Tidore Timur 4 320 1407
5 Ternate Tengah 15 628 2460 5 Oba 9 517 2248
6 Ternate Utara 14 548 2608 6 Oba Selatan 7 344 1187
VII HALMAHERA BARAT 146 10902 44055 7 Oba Utara 12 474 1581
1 Jailolo 29 2423 9831 8 Oba Tengah 9 374 1543
2 Jailolo Selatan 18 974 3983 III HALMAHERA TENGAH 47 2719 11409
3 Jailolo Timur 6 684 2504 1 Weda 10 653 2292
4 Sahu 16 851 3241 2 Weda Selatan 7 382 1491
5 Sahu Timur 16 646 2651 3 Weda Timur 7 373 1502
6 Ibu 13 1056 3801 4 Pulau Gebe 6 224 677
7 Ibu Selatan 13 1339 5556 5 Patani 9 532 2661
8 Ibu Utara 13 1282 5557 6 Patani Utara 8 555 2786
9 Loloda 22 1647 6931 IV HALMAHERA UTARA 189 11049 45292
VIII HALMAHERA TIMUR 77 5816 23546 1 Malifut 22 677 3471
1 Maba Selatan 6 186 849 2 Kao Teluk 5 93 491
2 Kota Maba 5 128 589 3 Kao 14 600 2438
3 Wasile Selatan 14 997 4492 4 Kao Barat 21 1007 4029
4 Wasile 6 616 2096 5 Kao Utara 12 867 3357
5 Wasile Timur 6 874 3116 6 Tobelo Selatan 13 878 3509
6 Wasile Tengah 8 476 1842 7 Tobelo Barat 6 726 2680
7 Wasile Utara 6 501 2325 8 Tobelo Timur 6 405 1392
8 Maba 7 426 1769 9 Tobelo 10 1372 5702
9 Maba Tengah 10 491 1834 10 Tobelo Tengah 9 569 2354
10 Maba Utara 9 1121 4634 11 Tobelo Utara 9 631 2934
IX HALMAHERA SELATAN 248 7062 30883 12 Galela 7 409 1831
1 Obi Selatan 8 310 1272 13 Galela Selatan 7 316 1344
2 Obi 9 408 1867 14 Galela Barat 9 607 2227
3 Obi Barat 6 158 756 15 Galela Utara 12 704 3039
4 Obi Timur 4 118 551 16 Loloda Utara 18 715 2801
5 Obi Utara 7 295 1408 17 Loloda Kepulauan 9 473 1693
6 Bacan 14 195 832 V KEPULAUAN MOROTAI 63 5093 24492
7 Mandioli Selatan 6 287 1104 1 Morotai Selatan Barat 17 1230 5587
8 Mandioli Utara 6 290 1001 2 Morotai Selatan 19 1410 7049
9 Bacan Selatan 10 119 573 3 Morotai Utara 10 1001 4752
10 Batang Lomang 8 289 971 4 Morotai Jaya 9 745 3747
11 Bacan Timur 10 358 1628 5 MOROTAI TIMUR 8 707 3357
12 Bacan Timur Selatan 7 346 1485 VI KEPULAUAN SULA 125 7970 33656
13 Bacan Timur Tengah 6 114 441 1 Sula Besi Barat 6 332 1507
14 Bacan Barat 6 140 635 2 Sula Besi Selatan 4 312 1566
15 Kasiruta Barat 10 223 833 3 Sanana 11 1016 4327
16 Kasiruta Timur 6 130 577 4 Sula Besi Tengah 6 437 2087
17 Bacan Barat Utara 5 157 557 5 Sula Besi Timur 6 288 1522
18 Kayoa 14 424 2011 6 Sanana Utara 6 223 1052
19 Kayoa Barat 4 184 1028 7 Mangoli Timur 5 168 827
20 Kayoa Selatan 6 304 1446 8 Mangoli Tengah 8 463 2103
21 Kayoa Utara 6 138 753 9 Mangoli Utara Timur 4 301 1131
22 Pulau Makian 15 168 535 10 Mangoli Barat 6 545 2287
23 Makian Barat 7 76 302 11 Mangoli Utara 7 990 3991
24 Gane Barat 10 221 1085 12 Mangoli Selatan 5 392 1708
25 Gane Barat Selatan 8 188 869 13 Taliabu Timur 4 281 1250
26 Gane Barat Utara 12 212 983 14 Taliabu Timur Selatan 9 383 1388
27 Kepulauan Joronga 7 146 730 15 Taliabu Barat 8 487 1922
28 Gane Timur 18 629 2654 16 Taliabu Utara 13 542 2242
29 Gane Timur Tengah 8 253 1066 17 Taliabu Barat Laut 4 94 239
30 Gane Timur Selatan 5 182 930 18 Lede 6 423 1422
Maluku Utara 1090 52932 221372 19 Taliabu Selatan 7 293 1085

Rabu, 17 Februari 2010

Pelawak Bolot Ikut Calon Wali Kota Tangsel

Kamis, 18 Pebruari 2010 01:33 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 609 kali
Pelawak Bolot Ikut Calon Wali Kota Tangsel
Pelawak, H. Bolot (www.rujakmanis.com)
Tangerang (ANTARA News) - Bolot, pelawak terkenal ibu kota ikut mencalonkan diri sebagai Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di wilayah itu pada Oktober 2010.

"Saya siap maju dalam Pemilukada Wali Kota Tangsel," ujar Bolot yang bernama asli H. Muhammad ini ketika menghadiri acara pelantikan pejabat di kantor pemerintahan daerah setempat di Tangerang, Rabu.

Pelawak yang spesialis dengan lakon budeg atau tuli itu mengatakan, telah mendapatkan restu dari sejumlah elemen masyarakat Tangsel dan siap mendaftarkan diri sambil menunggu kepastian pelaksanaan Pemilukada Tangsel.

Bolot mengklaim, tiga kecamatan yakni Ciputat, Serpong dan Pamulang merupakan basis utama mendukung dirinya maju pada Pemilukada Tangsel.

Sebagai calon independen, ia menuturkan, belum melakukan pembicaraan dengan sejumlah partai politik, meski begitu tidak menyurutkan niatnya maju sebagai bakal calon Wali Kota.

"Belum ada dukungan parpol kepada saya karena belum ada tanda-tanda pelaksanaan pemilukada, tetapi saya yakin siap maju apapun konsekuensinya," kata Bolot.

Disinggung adanya calon kuat Wali Kota Tangsel, Bolot mengaku, tidak gentar dengan pencalonan adik ipar Gubernur Banten Hj Ratu Atut Chosiyah, Airin Rachmi Diany.

Termasuk bakal calon Wali Kota lainnya seperti, Rano Karno (Wakil Bupati Tangerang saat ini), Achmad Suwandi (Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang yang juga adik kandung Walikota Tangerang H. Wahidin Halim), HM Harry Mulya Zein (Sekda Kota Tangerang) dan Ayi Ruhiyat (Staf Ahli Wali Kota Tangsel).

"Menang atau kalah saya siap menerimanya, tetapi kita lihat saja siapa yang paling tenar," ucap pria asal Ciputat itu.

Sementara itu, tokoh masyarakat Tangsel H Amin Djambek menjelaskan, pencalonan diri Bolot sebagai bakal calon Wali Kota Tangsel merupakan hak setiap warga negara Indonesia.

Menurut dia, hadirnya Bolot dalam pencalonan Wali Kota memberikan warna tersendiri dalam pelaksanaan Pemilukada Tangsel pada bulan Oktober 2010.

Di tempat terpisah Penjabat Wali Kota Tangsel M Shaleh menyatakan, bakal calon Wali Kota Tangsel tidak harus dari pejabat pemerintahan maupun pengusaha.

"Siapapun berhak mencalonkan diri, asalkan Wali Kota terpilih mampu memberikan kontribusi terbaik kepada rakyatnya," tandas Wali Kota. (R010/K004)

ICW: "Fee" Untuk Kepala Daerah Rp360,31 Miliar

Sumber : http://www.antara.co.id/berita/1266415090/icw-fee-untuk-kepala-daerah-rp360-31-miliar

Rabu, 17 Pebruari 2010 20:58 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, honorarium dan "fee" (bayaran) yang diterima kepala daerah beserta pejabat daerah dari enam Bank Pembangunan Daerah (BPD) mencapai Rp360,31 miliar.

"Enam BPD tersebut, yaitu Bank Sumatra Utara, Bank Jabar Banten, Bank DKI, dan Bank Jawa Tengah, Bank Jawa Timur, dan Bank Kalimantan Timur," jelas Tama dalam diskusi "Kontroversi Honorarium dan `Fee` bagi Kepala Daerah dan Reformasi Sistem Penggajian" di Jakarta, Rabu.

Tama mengatakan, penerimaan honorarium dan "fee" dari BPD tersebut secara jelas melanggar dan menyalahgunakan aturan yang berlaku.

Salah satu aturan yang dilanggar yaitu, Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

"Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dibenarkan menerima penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara," ujar Tama.

Selain itu, Tama mengatakan, penerimaan yang diterima oleh Pejabat Negara tersebut juga melanggar ketentuan aliran dana pendapatan daerah.

Dalam Permendagri No.3 tahun 1998 dijelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh BPD sebagai bagian dari BUMN seharusnya masuk ke kas daerah dan kalau pun terdapat bunga dari APBD yang disimpan dalam BUMN (BPD), penerimaan tersebut harus masuk ke kas daerah.

"Tapi yang terjadi selama ini kan honorarium dari BPD itu masuk ke rekening pribadi Kepala Daerah, bukan ke kas daerah," kata Tama.

Lebih lanjut, Tama menjelaskan dana yang ditanggung APBD bukanlah honorarium seperti yang diterima langsung dari BPD, melainkan biaya penyelenggaraan administratif.

"Jadi selama berpuluh-puluh tahun ini pejabat salah mengartikan aturan yang ada," katanya.

Menurut dia, pemberian honorarium dan fee dari BPD ini secaya nyata telah menimbulkan konflik kepentingan.

Senda dengan Tama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Moch Jasin mengatakan, beberapa sumber utama konflik kepentingan, yaitu kepemilikan aset, gratifikasi dan rangkap jabatan.

"Untuk mengatasi konflik kepentingan harus diberlakukan sistem kompensasi yang berbasis kinerja," kata Jasin dalam diskusi tersebut.

Menurut dia, kompensasi dan reformasi penggajian harus dilakukan salah satunya ialah dengan memberlakukan single salary (gaji tunggal).

"Gaji pokok Kepala Daerah itu memang tidak mencapai 10 juta, tapi penerimaan dari sumber lain bisa beratus-ratus juta. Nah ini yang harus dipikirkan ulang oleh pemerintah. Untuk itulah diberlakukan `single salary` yang mencukupi tanpa harus menerima dari sumber lain yang tak sesuai aturan," jelas Jasin.

Jasin menegaskan, untuk mencegah konflik kepentingan yang disebabkan oleh penerimaan yang tidak sesuai dengan aturan harus dilakukan pemberlakuan kebijakan yang tegas terkait kompensasi yang diterima serta regulasi yang jelas.

Sedangkan peneliti hukum dan politik The Indonesian Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, menteri dalam negeri harus segera membuat regulasi untuk membatasi fee dan honorarium Kepala Daerah dan para Pejabat Daerah.

"Aturan harus benar-benar dibuat agar honor-honor dan fee yang tidak jelas dan nilainya sangat besar tersebut bisa digunakan untuk mendorong pelayanan kesejahteraan rakyat," kata Roy.
(L.M-RFG/R009)

Pilkada Ternate Diramaikan Calon Independen

sumber : http://www.antara.co.id/berita/1264459225/pilkada-ternate-diramaikan-calon-independen
Selasa, 26 Januari 2010 05:40 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 881 kali
Pilkada Ternate Diramaikan Calon Independen
Ilustrasi Pilkada (ANTARA/Fouri Gesang Sholeh)
Ternate (ANTARA News) - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) akan diramaikan calon dari jalur independen kata anggota KPU Kota Ternate, Rustam, di Ternate, Senin.

Ada satu calon wali kota Ternate bernama Wahda yang telah mendaftar di KPU setempat menggunakan jalur independen, katanya.

Calon tersebut telah menyerahkan pula semua persyaratan yang diperlukan sebagai calon independen, seperti dukungan dari 15 ribu warga kota Ternate berupa fato copy KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Rustam mengatakan, KPU Malut akan segera melakukan verifikasi terhadap semua persyaratan yang diserahkan calon independem tersebut, terutama soal keabsahan KTP dari para pendukungnya.

KPU akan mengecek apakah warga yang KTP-nya ada dalam daftar pendukung calon independen tersebut benar memberikan dukungan, apakah KTP tersebut masih berlaku, atau tidak ganda.

"Kepastian apakah calon idependen tersebut memenuhi syarat untuk mengikuti pilkada Kota Ternate akan diketahui setelah KPU selesai melakukan verifikasi pada awal Maret 2010," katanya.

Pendaftaran calon independen mendapat jadwal pertama dalam pendaftaran calon wali kota peserta pilkada Kota Ternate, karena calon independen membutuhkan waktu verinikasi yang lebih lama jika dibandingkan dengan calon yang diajukan parpol.

Sejumlah parpol di Kota Ternate telah pula menyiapkan calon yang akan bertarung pada pilkada Kota Ternate pertengahan tahun ini. Partai Golkar, misalnya, telah menyiapkan ketua DPD Partai Golkar Kota Ternate, Ikbal Ruray, sebagai calonya.

Begitupula PPP dan sejumlah parpol koalisinya telah menetapkan Burhan (Sekot Ternate) sebagai calonnya, sementara Partai Demokrat sejauh ini belum menetapkan calon wali kota/wakil wali kota yang akan didukung pada pilkada nanti.

Wali kota Ternate, Syamsir Andili tidak akan maju pada pilkada Kota Ternate nanti, karena dia sudah menjabat dua periode, namun ia terlihat mendukung calon Partai Golkar karena ia sebagai pengurus Partai Golkar Malut.(*)

RUU DAERAH KEPULAUAN

Saat ini Badan Koordinasi Provinsi Kepulauan, lagi menyusun sebuah rancangan UU tentang pembangunan daerah kepulauan, tentu masih terdapat berbagai kelemahan-kelemhan, maka dibutuhkan masukan, kritik, dan saran konstruktif bagi percepatan pembangunan daerah-daerah kepulauan di Indonesia.

RANCANGAN
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ……. TAHUN 2010

TENTANG
DAERAH KEPULAUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan hubungan wewenang antara Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

b. bahwa daerah kepulauan merupakan bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki karakteristik khas, dimana luas wilayah laut lebih besar dari wilayah darat dengan komunitas masyarakat yang tersegregasi berdasarkan teritorial pulau.

c. bahwa karakteristik daerah-daerah kepulauan belum menjadi perhatian khusus sehingga mengalami kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
d. bahwa pelaksanaan pemerataan dan percepatan pembangunan daerah di seluruh wilayah Negara, hanya dapat dilakukan atas dasar pembedaan perlakuan berdasarkan karakteristik wilayah.
e. bahwa Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya kekhususan daerah kepulauan.
f. bahwa untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab melalui kebijakan yang sepenuhnya memperhatikan kekhususan daerah kepulauan, maka dipandang perlu mengatur daerah kepulauan dengan undang-undang.
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, e, dan f, maka perlu ditetapkan Undang Undang tentang Daerah Kepulauan.
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 25A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
2. Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan International Convention On The Law of The Sea 1982 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor ....., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .....);
3.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tamb ahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
4.
Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
5. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
7. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
8. Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925).

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
DEWAN PERWAKILAM RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN

Menetapkan : UNDANG UNDANG DAERAH KEPULAUAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang di maksud dengan :
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.
2. Kepulauan adalah gugusan pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungan satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
3. Daerah Provinsi Kepulauan adalah Daerah Provinsi yang memiliki minimal dua Kabupaten/Kota Kepulauan dengan luas wilayah lautan terluas dan di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan merupakan satu kesatuan yang erat hubungannya satu sama lain, sehingga merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang hakiki atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.
4. Daerah Kabupaten/Kota Kepulauan adalah Daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai wilayah lautan terluas dan di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan merupakan satu kesatuan yang erat hubungannya satu sama lain, sehingga merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang hakiki atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.
5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang fungsional dan teritorial pemerintahan di laut dan darat kepada daerah otonom kepulauan untuk mengatur dan mengurus uruan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat serta wewenang-wewenang yang lainnya di bidang penegakan hukum, urusan luar negeri, keuangan Negara, pertahanan keamanan Negara dan agam secara proporsional kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di daerah kepulauan.
7. Otonomi di daerah kepulauan adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah kepulauan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat setempat, baik di laut maupun di darat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8. Daerah otonomi kepulauan adalah kesatuan masyarakat hukum yang empunyai batas-batas wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut untuk provinsi serta sejauh 1/3 (sepertiga) dari batas wilayah provinsi untuk kabupaten/kotadiukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau atau karang terluar suatu daerah kepulauan kea rah laut lepas atau perairan kepulauan.
9. Perlakuan Khusus adalah perlakuan dalam kebijakan Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat daerah yang didasarkan pada karakteristik Daerah Kepulauan.
10.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pengaturan undang undang mengenai daerah kepulauan didasarkan pada asas kepastian hokum, persatuan dalam perbedaan, non diskriminasi, diskresi, tidak menyalagunakan kekuasaan, gubernadi, dan tanggung jawab Negara.


Pasal 3
Pengaturan undang-undang mengenai daerah kepulauan bertujuan untuk:
a. menegaskan implementasi dari pengaturan Negara Kepulauan baik pada Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah menjadi hukum nasional Indonesia;
b. mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara secara proporsional melalui pembagian tanggung jawab antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
c. menjamin kepastian hukum dan keadilan serta perlakuan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat berbasis karakteristik daerah kepulauan;

BAB III
DAERAH KEPULAUAN
Pasal 4
(1) Daerah kepulauan merupakan suatu daerah yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
(2) Wilayah daerah kepulauan dibagi atas daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota kepulauan yang berciri nusantara dengan perairan di sekitar dan/atau diantara dan/atau yang menghubungkan pulau-pulau merupakan bagian dari provinsi, kabupaten/kota kepulauan yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.

Pasal 5
(1) Daerah provinsi kepulauan merupakan daerah yang memiliki minimal dua kabupaten/kota Kepulauan.
(2) Daerah kabupaten/kota Kepulauan merupakan daerah yang mempunyai wilayah lautan terluas dan di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan merupakan satu kesatuan yang erat hubungannya satu sama lain, sehingga merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang hakiki atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.
(3) Daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota kepulauan ditetapkan dengan undang-undang pada saat pembentukan apabila memenuhi syarat sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2).

BAB IV
WILAYAH LAUT DAERAH KEPULAUAN
Pasal 6
(1) Batas daerah kepulauan di wilayah laut merupakan ruang pelaksanaan kewenangan daerah kepulauan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut.
(2) Batas kewenangan daerah provinsi kepulauan di wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mi laut diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau atau karang terluar suatu daerah kepulauan ke arah laut lepas atau perairan kepulauan;
(3) Garis yang menghubungkan titik-titik terluar tidak boleh :
a. melebihi 50 (lima puluh) mil laut, kecuali hingga 3 (tiga) persen dari jumlah garis itu dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 75 (tujuh puluh lima) mil laut;
b. menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi daerah kepulauan tersebut;
c. ditarik dari ke dan dari elevasi surut, kecuali di atasnya telah dibangun mercu suar atau insalasi serupa yang permanen.
(4) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil laut, kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah laut dibagi sama jaraknya atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut.


Pasal 7
(1) Batas kewenangan daerah kabupaten/kota kepulauan di wilayah laut sejauh maksimal 6 (enam) mil laut diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau dan/atau karang terluar dari daerah kabupaten/kota kepulauan, yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi.
(2) Dalam wilayah kewenangan daerah kabupaten/kota kepulauan di laut, dapat ditetapkan wilayah kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat yang tidak boleh kurang dari 1,5 (satu koma lima) mil laut diukur dari garis air rendah kearah laut lepas atau perairan kepulauan dan diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Penetapan batas kewenangan daerah di wilayah laut, tetap menghormati hak-hak penangkapan ikan yang secara tradisional telah berlangsung.

Pasal 8
(1) Daerah kabupaten/kota dalam suatu provinsi kepulauan yang secara geografis dan pantainya menunjukkan bentuk yang normal, maka batas kewenangan daerah di wilayah laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau perairan kepulauan.
(2) Daerah kabupaten/kota dalam suatu provinsi kepulauan yang secara geografis, garis pantainya menjorok jauh ke dalam dan atau menikung ke dalam atau terdapat deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, maka batas kewenangan daerah di wilayah laut diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik yang tepat untuk menarik batas daerah ke arah laut lepas atau perairan kepulauan.
BAB V
KEWENANGAN DAERAH KEPULAUAN DI LAUT
Pasal 9
(1) Daerah kepulauan diberikan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah laut, baik di bawah dasar dan atau di dasar laut dan atau perairan di atasnya.
(2) Daerah Kepulauan mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di laut, baik di bawah dasar dan atau di dasar laut dan atau perairan di atasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan daerah kepulauan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan dan keamanan Negara.


Pasal 10
(1) Pemerintah dan pemerintahan daerah harus melakukan kadasterisasi wilayah laut untuk mewujudkan kepastian hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut.
(2) Kadasterissasi wilayah laut merupakan suatu proses pemetaan wilayah laut meliputi pengukuran, penataan, dan pembukuan hak-hak dan perolehannya, serta pembuatan dan pemberian surat-surat sebagai bukti.
(3) Tujuan kadasterisasi wilayah laut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah kepulauan maupun kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah laut, serta tertib administrasi kelautan.
(4) Objek kadasterisasi wilayah laut adalah hak hak atas laut meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak pengelolaan laut;
f. hak tanggungan; dan
g. laut Negara.

BAB VI
HUBUNGAN WEWENANG PEMERINTAHAN
Pasal 11
(1) Pemerintahan daerah kepulauan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat menurut asas otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab serta tugas pembantuan.
(2) Pemerintahan daerah kepulauan menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan dekonsentrasi yang proporsional perihal urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan daerah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah kepulauan.

Pasal 12
(3) Pemerintahan daerah kepulauan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat, memiliki hubungan wajar dan proporsional dengan Pemeritah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.
(4) Hubungan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan merupakan hubungan mendorong dan mengarahkan pengembangan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, yang menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.

Pasal 13
Pemerintah menetapkan dalam Peraturan Pemerintah, urusan kelautan dan perikanan menjadi urusan wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat kepada daerah kepulauan.

BAB VII
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan pemerintahan pada daerah kepulauan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggaraan negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
e. asas proposionalitas;
f. asas profesionalitas;
g. asas akuntabilitas;
h. asas efisiensi; dan
i. asas efektivitas.
(2) Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam menyelenggaraakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab serta asas tugas pembantuan.


Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Daerah Kepulauan

Pasal 15
Dalam menyelenggarakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, daerah kepulauan mempunyai hak:
a. mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia, baik di darat maupun di laut;
b. mendapatkan perlakuan dari Pemerintah sesuai karakteristik daerah kepulauan;
c. mendapatkan hak-hak lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16
Dalam menyelenggarakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, daerah kepulauan mempunyai kewajiban:
a. mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat secara proporsional dan tertanggung jawab;
b. mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal maupun hukum adat ke dalam peraturan perundang-undangan sesuai kewenangannya;
c. menyusun perencanaan dan tata ruang kepulauan yang mengutamakan pengembangan kelautan, sesuai kewenangannya serta berbasis gugusan pulau;
d. melakukan pengelolaan lingkungan kelautan dan pulau-pulau kecil secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam hayati, konservasi dan ekosistemnya;
e. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah

Pasal 17
(1) Pada daerah provinsi kepulauan karena rentang kendali pemerintahan, dapat diangkat pejabat Gubernur yang melaksanakan tugas Gubernur pada daerah kabupaten/kota yang mengalami kendala rentang kendali pemerintahan.
(2) Pejabat Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. mempunyai pengalaman memimpin pada tingkat provinsi minimal Asisten Sekretaris Daerah;
b. mempunyai kemampuan mengelola manajemen pemerintahan daerah;
c. memiliki karakter kepemimpinan, bertanggung jawab dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
d. Pejabat Gubernur dapat berasal dari kalangan akademisi yang memahami manajemen pemerintahan dan mempunyai Jabatan Akademik Lektor Kepala IVC;
e. dapat bekerjasama dengan Gubernur dan Wakil Gubernur.
(3) Pengangkatan pejabat Gubernur dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapatkan usul dari Gubernur.

Pasal 18
(1) Pada daerah kepulauan dapat dibentuk unit-unit fungsional yang berfungsi sebagai pelayanan teknis kepada masyarakat;
(2) Unit fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berkedudukan pada kecamatan dalam setiap gugusan pulau;
(3) Unit fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikoordinasikan oleh pejabat Gubernur yang berkedudukan pada kabupaten/kota.

Pasal 19
(1) Pembentukan unit fungsional sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, harus disertai dengan penetapan jabatan fungsional yang dapat menggerakkan unit fungsional tersebut.
(2) Jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 20
(1) Pelaksanaan pembangunan pada daerah kepulauan harus didasarkan pada kesatuan ruang darat dan ruang laut yang utuh dan komprehensif.
(2) Pelaksanaan pembangunan yang didasarkan pada kesatuan ruang darat dan ruang laut yang utuh dan komprehensif sbagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berbasis gugusan pulau dan kawasan laut pulau.
(3) Titik berat pelaksanaan pembangunan pada daerah kepulauan, diletakkan pada pembangunan kelautan yang mengutamakan pada infrastruktur kelautan.

Bagian Kedua
Pembangunan Ekonomi
Pasal 21
Pembangunan ekonomi daerah kepulauan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan:
a. keseimbangan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam pada gugusan pulau guna memenuhi peningkatan kesejahteraan rakyat;
b. keseimbangan antar daerah gugusan pulau sebagai satu kesatuan ekonomi.

Pasal 22
(1) Pembangunan ekonomi daerah kepulauan dilaksanakan melalui pengembangan suatu sistem produksi kepulauan berbasis gugusan pulau.
(2) Sistem produksi kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan dalam suatu kawasan produksi kepulauan.

Pasal 23
(1) Pengembangan sistem produksi kepulauan dalam suatu kawasan produksi kepulauan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22, dilakukan suatu sinergitas peran bersama antara Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan , swasta maupun masyarakat.
(2) Peran Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan untuk menyediakan pembiayaan dan pembangunan prasaran dan sarana.
(3) Peran swasta untuk melakukan penanaman modal dalam rangka pengembangan kawasan produksi kepulauan.
(4) Masyarakat berperanserta dalam menunjang pengembangan kawasan produksi kepulauan.


Bagian Ketiga
Pembangunan Sosial Budaya

Pasal 24
(1) Pembangunan sosial budaya pada daerah kepulauan dilakukan melalui pembinaan masyarakat dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
(2) Pembinaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan untuk mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap masa depan kehidupan pada pulau dan/atau gugusan pulau daerah kepulauan.
(3) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan agar masyarakat pada pulau dan/atau gugusan pulau dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia.

Pasal 25
Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan harus memanfaatkan nilai budaya, kearifan lokal dan adat istiadat dari masyarakat daerah kepulauan sebagai dasar pembentukan kebijakan pembangunan daerah kepulauan.


Pasal 26
Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan harus mengatur secara proporsional dinamisasi dan pengembangan struktur kependudukan, perbaikan terhadap keterisolasian fisik dan sosial masyarakat daerah kepulauan serta memantapkan budaya pembangunan wilayah kepulauan.

Bagian Keempat
Pembangunan Politik Pemerintahan
Pasal 27
(1) Pembangunan politik pada daerah kepulauan dilaksanakan bertumpuh pada proses demokratisasi yang mengutamakan partisipasi masyarakat secara berkualitas dan proporsional.
(2) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan berkewajiban mengembangkan prasarana dan sarana komunikasi dan informasi yang memadai bagi poerwujudan partisipasi masyarakat.
Pasal 28
(1) Pembangunan pemerintahan pada daerah kepulauan dilakukan untuk menghasilkan tata pemerintahan daerah kepulauan yang baik dan mandiri, didukung kualitas sumberdaya manusia aparatur yang menguasai bidang tugasnya.
(2) Pengembangan tata pemerintahan daerah kepulauan yang baik dan mandiri, dilakukan melalui:
a. pembagian kekuasaan yang proporsional antara pemerintahan daerah, swasta dan masyarakat sipil;
b. kemampuan DPRD membuat peraturan daerah yang berkualitas dan efektif;
c. mengembangkan pusat pelayanan terpadu satu pintu dengan cabang yang terhubung di tingkat kecamatan;
d. mengembangkan pusat pelayanan berbasis gugusan pulau yang dikoordinasikan pejabat Gubernur.
(3) Pemerintah berkewajiban mendorong dan membina pengembangan tata pemerintahan daerah kepulauan, sehingga berdaya guna dan berhasil guna




Bagian Kelima
Pembangunan Pertahanan dan Keamanan
Pasal 29
(1) Pemerintah mengembangkan suatu sistem pertahanan dan keamanan nasional yang berfungsi melindungi dan memberikan rasa aman pada masyarakat daerah kepulauan.
(2) Sistem pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hendaknya melibatkan partisipasi masyarakat.

Bagian Keenam
Pembangunan Infrastruktur
Pasal 30
(1) Pembangunan infrastruktur kelautan dan maritim pada daerah kepulauan harus dilakukan sebagai upaya penciptaan iklim investasi, memacu peningkatan produksi perikanan rakyat serta menjamin kelancaran transportasi umum secara terpadu, aman dan nyaman
(2) Infrastrukur kelautan dan maritime sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi dermaga laut dan fasilitas kepelabuhanan, fasilitas keamanan pelayaran, pelabuhan pendaratan ikan dan fasilitasnya, laboratorium pengendalian mutu perikanan, sarana pelayaran, bandar udara di wilayah kepulauan, fasilitas perlistrikan di wilayah kepulauan, fasilitas telekomunikasi dan lain-lain.

Pasal 31
Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan berkewajiban merencanakan pembangunan infrastruktur kelautan dan maritim secara efektif dan efisien dengan memperhatikan faktor potensi, hambatan geografis melalui pendekatan gugusan pulau.

Bagian Ketujuh
Pembangunan Hukum

Pasal 32
(1) Pemerintahan daerah kepulauan diberikan kewenangan untuk melakukan pembangunan hukum melalui pembentukan Tata Hukum Daerah Kepulauan.
(2) Tata Hukum Daerah Kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan nilai-nilai hukum adat masyarakat daerah kepulauan yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan berbentuk Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah.
BAB IX
PELAYANAN MASYARAKAT
Pasal 33
(1) Pemerintah wajib memperlakukan masyarakat daerah kepulauan sama dengan daerah provinsi, kabupaten/kota lainnya mengingat laut mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan daratan.
(2) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan wajib menyelenggarakan pendidikan formal pada semua jenjang, khususnya pendidikan kejuruan dengan menggunakan standar dan ratio pendidik dan anak didik sesuai dengan kondisi masyarakat kepulauan.
(3) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan wajib mengikutsertakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan formal, pendidikan non formal maupun pendidikan informal.

Pasal 34
(1) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan wajib menyediakan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan masyarakat secara memadai dan merata pada setiap giugusan pulau.
(2) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan wajib mengikutsertakan masyarakat dalam penyediaan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan asyarakat.

Pasal 35
(1) Setiap warga masyarakat yang berada di dalam wilayah daerah kepulauan berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Setiap warga masyarakat yang berada di dalam wilayah daerah kepulauan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara memadai dan berkualitas.

Pasal 36
(1) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan wajib menyediakan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dan pelayanan kesehatan memadai dan berkuliatas serta menyebar pada setiap gugusan pulau.
(2) Pemerintah dan pemerintahan daerah wajib membuat kebijakan khusus berupa insentif kepada tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang bertugas pada daerah kepulauan yang sangat terpencil terutama pada pulau-pulau kecil terluar.
(3) Pemerintah dan pemerintahan daerah kepulauan wajib membuat prioritas pengangkatan Guru dan Tenaga Medis dari putra-putri daerah-daerah kepulauan yang terpencil.

BAB X
PEREKONOMIAN DAERAH
Pasal 37
Perekonomian Daerah Kepulauan sebagai bagian integral perekonomian nasional dan global, harus ditata berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata, berdaya guna, berhasil guna dan berkesinambungan.

Pasal 38
(1) Pemerintahan daerah kepulauan berwewenang mengeluarkan ijin maupun melakukan kerjasama dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berada pada daerah yang menjadi kewenangannya.
(2) Perijinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau pemerintahan daerah kepulauan dengan pihak lain tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pengaturan dalam undang-undang ini.
(3) Perijinan dan perjanjian kerja sama yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan undang-undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan kepada pemegang ijin atau perjanjian yang bersangkutan.
Pasal 39
(1) Pemerintahan daerah kepulauan dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta.
(2) Penyertaan modal pemerintahan daerah kepulauan dalam BUMN dan perusahaan swasta ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Pasal 40
(1) BUMN dan atau perusahaan swasta yang beroperasi mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam kelautan di daerah kepulauan, harus memiliki kantor pusat di Daerah Kepulauan
(2) Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan melalui investasi di daerah kepulauan diwajibkan melibatkan masyarakat setempat pada berbagai tingkat operasional dan manajemen


BAB XI
KEUANGAN DAERAH
Pasal 41
(1) Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten Kota di Provinsi Kepulauan meliputi :
a. Pendanaan asli Provinsi, Kabupaten/Kota;
b. Dana perimbangan;
c. Penerimaan Provinsi dalam rangka perlakuan khusus;
d. Pinjaman daerah; dan lain-lain penerimaan yang sah.
(2) Sumber pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari atas :
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan
d. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
(3) Dana perimbangan bagian Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan dalam rangka perlakuan khusus dengan perincian sebagai berikut :
a. Bagi Hasil Pajak :
1). Pajak Bumi dan Banguanan sebesar 90% (sembilan puluh persen).
2). Bea Perrolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen);
3). Bea perolehan Hak Penguasaan Laut sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
4). Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).
b. Bagi hasil sumber daya alam :
1). Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
2). Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
3). Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);
4). Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
5). Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
c. Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas pada Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan.
e. Penerimaan Khusus dalam rangka perlakuan khusus Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan yang besarnya setara dengan 7% (tujuh persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan
f. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan perlakuan khusus Provinsi Kepulauan yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan berdasarkan usul Provinsi pada setiap tahun anggaran yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infra struktur.
(4) Penerimaan dalam rangka perlakuan khusus Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun.
(5) Mulai tahun ke 26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka perlakuan khusus sebagaimana dimaksud ayat (4) menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan 50% (lima puluh persen) untuk gas alam.
(6) Penerimaan dalam rangka perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.
(7) Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4 (empat) dan angka (5), dan huruf e antara Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan diatur secara adil dan berimbang dalam Perda, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal dan daerah yang memiliki pulau-pulau kecil yang dihuni penduduk.

Pasal 42
(1) Provinsi Kepulauan dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.
(2) Provinsi Kepulauan dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagaian anggarannya.
(3) Pinjaman dari sumber dalam negeri harus mendapat persetujuan DPRD.
(4) Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Kepulauan harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRD dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(5) Total komulatif pinjaman pada ayat (3) dan ayat (4) besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan luar negeri maupun pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 43
(1) Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi,Kabupaten/Kota Kepulauan diatur dengan Peraturan Daerah.
(2) Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendididkan dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi.
(3) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan, perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawabannya dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 44
Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Provinsi Kepulauan dikesampingkan kepada Pemerintahan Provinsi dan DPRD setiap tahun anggaran.

Pasal 45
Dalam rangka pembangunan infrastruktur kelautan, pendidikan dan kesehatan di daerah kepulauan dialokasikan khusus 7 (tujuh) persen dari jumlah Dana ALokasi Umum Nasional selama 15 tahun, yang dibagikan secara proporsional untuk daerah provinsi kepulauan sebagaimana dalam ketentuan peralihan.


BAB XII
PERLINDUNGAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 46
(1) Pemerintah Daerah Kepulauan wajib mengakui, menghormati, melindungi dan mengembangkan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat yang ada pada daerah kepulauan dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku.
(2) Hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat di laut maupun di darat yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Pelaksanaan hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat di laut dan di darat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat dari kesatuan masyarakat hukum adat menurut hukum adat setempat, dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat di laut, tidak lebih dari 1,5 (satu koma lima) mil laut dari batas kewenangan kabupaten/kota yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.


BAB XIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 47
Pemerintah berkewajiban melindungi nelayan tradisional melalui modernisasi alat tangkap dan peningkatan radius izin penangkapan serta pengakuan batas wilayah penangkapan bagi nelayan tradisional.



Pasal 48
Perhitungan nilai ekspot hasil perikanan dan kelautan harus didasarkan pada besar produksi tangkapan dan budidaya dari wilayah penangkapan dan budidaya sesuai perijinan yang dikeluarkan.


Pasal 49
(1) Pemerintah dapat melakukan pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah Provinsi Kepulauan untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia untuk batas yang tidak lebih dari 100 (seratus) mil laut.
(2) Pelimpahan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada kedudukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 50
Pada saat berlakunya undang-undang ini, Daerah Provinsi Kepulauan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, meliputi:
a. Provinsi Kepulauan Riau;
b. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung;
c. Provinsi Nusa Tenggara Barat;
d. Provinsi Nusa Tenggara Timur;
e. Provinsi Sulawesi Utara;
f. Provinsi Maluku Utara; dan
g. Provinsi Maluku.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah kepulauan wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ni.

Pasal 52
Undang-Undang ini mulau berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di : Jakarta
Pada Tanggal :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOESILO BAMBANG YUDOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal :
Mentei Hukum dan Hak Asasi Manusia

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ..... NOMOR ......